Kisah Crazy Rich Jakarta yang Cebok Pakai Uang Kertas dan Akhir Hidupnya

Kisah hidup Oei Tambah Sia mengungkapkan bahwa kekayaan bukanlah jaminan kebahagiaan. Seorang taipan terkenal dari Batavia pada abad ke-19, ia dengan mudah menghabiskan hartanya dalam perjudian dan pesta, hingga akhirnya berujung pada tragedi.

Oei dikenal dengan gaya hidup yang sangat hedonis, terutama ketika ia menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak berharga. Tindakan menunjukkan kesombongan dan kebanggaannya akan kekayaan yang diwarisinya. Dengan segala kesenangan yang dicarinya, Oei semakin terperosok dalam lubang kehidupan yang gelap.

Sikapnya yang dikuasai oleh kekuasaan dan uang seringkali menyebabkan masalah dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam pandangan masyarakat, ia adalah contoh nyata dari seseorang yang terperangkap oleh kepuasan yang selama ini dikejarnya.

Kekayaan dan Kesombongan Oei Tambah Sia dalam Masyarakat

Oei berhasil mengumpulkan harta yang melimpah dari warisan keluarganya. Namun, kekayaan itu justru menjadikannya sosok yang arogan. Banyak yang melihatnya sebagai representasi dari orang-orang yang memanfaatkan harta untuk berbuat sesuka hati.

Dalam bukunya, Alwi Shahab mencatat betapa Oei sering memperlihatkan sikap merendahkan, bahkan dalam aktivitas sehari-harinya. Misalnya, ia dengan sengaja menggunakan uang kertas sebagai alat cebok, menunjukkan bahwa ia tidak menghargai nilai dari uang itu sendiri.

Hal ini menjadi contoh dari pengabaian etika dan moralitas dalam perilaku orang kaya. Di tengah masyarakat yang kekurangan, keberadaan Oei seolah menjadi simbol kesenjangan yang mencolok.

Kehidupan Romantis yang Kacau dari Oei Tambah Sia

Oei dikenal sebagai pria yang tidak pernah merasa puas dengan satu wanita. Ia sering menjalin hubungan dengan banyak perempuan, berbekal ketampanan dan status sosialnya. Semua ini disadari dan tidak jarang menimbulkan masalah dalam hidupnya.

Menurut Achmad Sunjayadi, Oei sering menghabiskan waktu di bungalownya di Ancol dengan berbagai perempuan. Ia bahkan menyewa germo untuk mencari wanita-wanita cantik yang ia inginkan.

Sikap eksploitatif Oei terhadap perempuan mencerminkan pandangan patriarchal yang mengakar. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan yang dimilikinya memengaruhi cara Oei memperlakukan orang lain, bahkan yang terdekat dengan dirinya.

Tragedi yang Membawa Oei ke Ujung Tali Gantung

Suatu ketika, Oei terlibat dalam sebuah insiden yang berakhir tragis. Kasus ini dimulai ketika ia menjalin hubungan dengan seorang pesinden bernama Mas Ajeng Gunjing. Pertemuan keduanya membawa mereka ke dalam berbagai konflik yang berujung pada kekerasan.

Ajeng jatuh sakit dan Oei mengundangnya ke rumahnya di Tangerang. Ketika saudara kandung Ajeng, Sutejo, menjenguk, Oei merasa terancam dan cemburu. Hal ini mengarah pada keputusan mengerikan untuk menghabisi nyawa Sutejo.

Oei, yang merasa di atas hukum, melakukan tindakan keji untuk menutupi jejaknya. Namun, upaya liciknya tidak berhasil dan polisi akhirnya menemukan bukti yang cukup untuk menangkapnya. Ini adalah titik balik dalam hidup Oei, yang sebelumnya merasa tak tersentuh oleh hukum.

Hukuman mati dijatuhkan sebagai akibat dari tindakan brutalnya, yang menjadi contoh nyata bahwa kekuatan dan kekayaan tidak bisa menyelamatkan seseorang dari konsekuensi. Pada tahun 1851, ia dieksekusi di depan publik, meninggalkan pelajaran berharga bagi masyarakat tentang bahaya dari kesombongan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Related posts